Hilangnya Budaya
Indonesia
Indonesia yang terkenal dengan Negara multikultural, demokrasi,
Negara yang santun, Negara yang berpedomankan aturan pancasila dan
Undang-Undang Dasar, sepertinya saat ini, nilai-nilai, budaya-budaya itu semua
mulai tergeser. Lihatlah budaya dan thabiat warga Indonesia saat ini, sungguh
memprihatinkan. Bukan hanya para remaja atau pemuda yang membuat onar
Indonesia. Bahkan sarjana, pejabat, hakim, orang cerdas dan genius pun hampir
semua profesi tinggi maupun rendah pernah masuk dalam data criminal. Dapat
dikatakan bahwa intensitas kekerasan di Indonesia saat ini bahkan hampir
menyamai negara-negara yang sedang dalam situasi perang sipil. Mengapa? Karena
hampir setiap hari di media massa kita membaca berita kekerasan yang menimpa
kelompok-kelompok rentan. Apakah hanya dengan ini semua kita membalas jasa para
pahlawan, jasa orang-orang yang sudah merebut kemerdekaan Indonesia, memajukan
Indonesia, membawa Indonesia menjadi lebih baik. Negara lain, mengenal orang
Indonesia, sebagai orang yang pemalu, dalam berperilaku selalu sesuai aturan,
norma, dan adat istiadat. Tapi benarkah saat ini orang Indonesia masih
berperilaku seperti itu?
Akhir-akhir ini, baru saja kita mendengar tawuran antar
pelajar. Ada kecenderungan di masyarakat kita menjadikan kekerasan sebagai
solusi untuk penyelesaian masalah. Akibat hal-hal sepele, berujung pada saling
bentrok dan saling serang hingga akhirnya menimbulkan korban luka-luka maupun
korban jiwa. Mereka baru pelajar SMA tapi mereka menyelesaikan masalah dengan
kekerasan. Bila sudah terjadi seperti ini, hingga menimbulkan korban jiwa,
salah siapakah semua ini. Bila sudah terjadi seperti ini, tak perlu kita saling
menyalahkan. Para orang tua, pihak sekolah, departemen pendidikan, harus segera
menindak lanjuti peristiwa seperti ini, jangan sampai menular ke
sekolah-sekolah lain, mau jadi apa negara Indonesia, jika pelajarnya saja
menyelesaikan masalah dengan kekerasan, maka dari itu semua pihak harus bisa
mengembalikan fungsi sekolah dan pelajar sebagaimana mestinya.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan masyarakat
Indonesia. Kesadaran bahasa Bahasa adalah bagian terpenting membentuk budaya
sebuah bangsa. Secara terus menerus, bahasa merupakan piranti sosial yang mampu
menjadikan masyarakat memiliki identitas. Melalui komunikasi oleh anggota
masyarakat bahasa berperan selain sebagai alat komunikasi yang menunjukkan
identitas dan karakter seseorang, tinggi rendahnya kualitas komunikasi lisan
maupun tulisan seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakan. Salah satu
contoh, adat orang Jawa Timur dalam berbahasa. Di Jawa Timur ada bahasa jawa
kromo, dan bahasa jawa ngoko. Bahasa jawa kromo, mayoritas digunakan untuk
berbicara kepada orang yang lebih tua, sedangkan jawa ngoko kepada orang yang
seumuran atau sebaya. Kita ambil contoh saja di kota Malang. Terkadang masih
saya temui anak berbicara pada orang tuanya menggunakan bahasa ngoko, bahkan
bisa lebih kasar dan sampai menghujat orang tuanya sendiri, karena keinginannya
tidak dituruti. Beberapa waktu lalu, kita mendengar penggunaan kata “bangsat”
dan “setan “oleh anggota DPR telah memicu timbulnya konflik antara elit politik
di Indonesia. Apapun alasannya, penggunaan kata kasar oleh anggota DPR yang
terhormat tidak bisa diterima. Anggota DPR seharusnya menggunakan bahasa yang
santun sebab keberadaan mereka merupakan representasi dari rakyat Indonesia.
Mereka harus memberikan contoh yang baik kepada publik tentang bagaimana
berkomunikasi yang baik. Mereka berbicara bukan mewakili suara mereka sendiri
tetapi mereka mewakili suara rakyat sebab mereka dipilih secara langsung oleh
rakyat. Wajar saja bila masyarakat memprotes penggunaan kata “bangsat” dan
“setan” sebab kedua makna kata itu sangat bertentangan dengan identitas
terhormat yang melekat pada anggota dewan. Faktor yang kedua yaitu, faktor pendidikan
dalam keluarga. Jika seseorang dari kecil dibesarkan dengan cara kasih sayang,
cinta, pendidikan moral. Maka dia akan tumbuh dengan watak yang baik, tapi jika
orang tuanya mendidik dengan kekerasan baik itu keras secara fisik maupun
kata-kata, atau biasa disebut dengan kekerasan simbolik. Akibatnya, anak yang
dari kecil sudah terbiasa dengan kekerasan simbolik akan cenderung mempunyai
karakter kasar, emosional, anarkis dan brutal. Bukan hanya diri sendiri atau
keluarga saja yang dirugikan, Saat dia dewasa bukan hal yang tidak mungkin jika
dia menginginkan sesuatu menggunakan cara kekerasan, bertengkar, mencuri,
bahkan mungkin hingga menimbulkan korban jiwa, dan hal-hal kriminal lainnya
yang bisa dia perbuat. Bukan hal yang mudah merubah karakter orang dewasa yang
cinta kekerasan, anarkis dan brutal menjadi orang yang beretika dan bermoral. Kekerasan
hampir selalu dapat ditemui di berbagai masyarakat dari masa ke masa. Hanya
saja, saat ini terdapat masyarakat yang lebih sedikit melakukan kekerasan
dibandingkan dengan yang lain. Dalam masyarakat yang sudah sangat akrab dengan
kekerasan, kekerasan ditemui hampir setiap waktu sehingga insiden kekerasan
telah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh miris bangsa ini, dengan semakin majunya dunia
dan teknologi, bukan membawa bangsa ini ke arah yang lebih positif, justru
sebaliknya, kekerasan dan bahasa kasar pun dilakukan oleh hampir seluruh
lapisan masyarakat Indonesia, baik yang terpelajar maupun bukan. Di sisi lain,
manajemen pengelolaan konflik yang ada di masyarakat telah lama hilang.
Misalnya, mekanisme musyawarah atau mediasi untuk penyelesaian konflik atau
sengketa antar-masyarakat. Dulu di masyarakat kita, ada lembaga-lembaga
informal yang dapat memfasilitasi konflik agar tidak berujung pada kekerasan
dan kebrutalan. Di zaman serba cepat, lembaga-lembaga formal yang memediasi
konflik telah hilang dan dilupakan oleh masyarakat yang sedang berubah cepat
ini. Kita tidak ingin kekerasan menjadi solusi penyelesaian masalah. Jika ini
yang terjadi, tentu akan membahayakan kehidupan kita dalam berbangsa dan
bernegara. Peradaban bangsa yang luhur dan demokratis tidak mengenal kekerasan
sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah, konflik atau sengketa antar-warga
masyarakat. Hukum yang adil dan tegak merupakan pilar untuk membangun peradaban
yang tinggi sekaligus demokratis.
Cara-cara meminimalisir kekerasan masyarakat
Indonesia, dalam hal ini peran pendidikan keluargalah yang paling penting. Keluarga
dan orang-orang dekat semenjak kecil menjadi referensi sentral pembentukan karakter
pribadi seseorang. Untuk itu, untuk semua orang tua Indonesia ajarkanlah kepada
anak-anak anda etika dan moral yang baik sejak dini. Yang kedua yaitu dengan
cara memotong budaya kekerasan itu, ini berarti, menghentikan, menangani, dan
menyelesaikan setiap aksi kekerasan yang muncul. Ibarat memberikan obat yang
mematikan kepada virus, budaya kekerasan harus dimatikan. Tidak ada kompromi
atau negosiasi pada budaya kekerasan karena kekerasan bukanlah hal yang bisa
dikompromikan. Pemotongan budaya kekerasan dengan budaya anti-kekerasan harus
dilakukan di setiap lini, mulai dari level individu, keluarga, kelompok, hingga
masyarakat secara luas. Semua cara-cara ini, tidak mungkin berhasil jika tidak
ada kesadaran dari masing-masing individu akan pentingya perdamaian dan
kesadaran mengembalikan budaya Indonesia. Memang bukan hal yang mudah untuk
mengembalikan budaya atau moral Indonesia menjadi etika dan bermoral. Tetapi
lihatlah salah satu contoh Kota di Indonesia yaitu Yogyakarta. Gerakan
masyarakat untuk mengembalikan kedamaian di Yogyakarta beberapa waktu lalu, adalah
salah satu upaya yang diperlukan dan penting sebagai kontra-wacana
anti-kekerasan di ranah publik, yang akhir-akhir ini sangat didominasi wacana
kekerasan. Alangkah indahnya jika salah satu upaya ini tidak hanya dilakukan di
Yogyakarta, tetapi juga di seluruh kota di Indonesia, bahkan di masing-masing
Individu warga Indonesia. Jika negara lain bisa menyelesaikan masalah dengan
berdamai atau melalui hukum. Indonesia pun juga pasti bisa dan harus bisa.
Daaftar Sumber :
Komentar
Posting Komentar